BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setelah memahami pengertian bimbingan dan konseling, maka dalam makalah ini akan menguraikan berbagai hal yang menjadi landasan pelayanan bimbingan dan konseling. Landasan tersebut meliputi landasan historis, landasan filsafat, dan landsan social budaya.
Paparan tentang landasan Landasan historis menjelaskan alur/ sejarah kemunculan bimbingan konseling pertama kali, yang menjadi titik awal lahirnya Bimbingan konseling untuk dijadikan refleksi bagi bimbingan dan konseling kedepan dalam rangka menghasilkan pelayanan yang lebih baik lagi.
Landasan filsafat membahas tentang hakikat manusia. Uraian landasan filosofis menyangkut empat dimensi kemanusiaan dan berbagai pemikiran tentang evolusi perkembangan manusia, tinjauan psikologis tentang manusia, serta hakikat tentang tujuan dan tugas kehidupan manusia.
Sedangkan landasan Landasan sosial budaya menunjukkan pentingnya gambaran aspek-aspek social budaya yang mewarnai kehidupan seseorang. Aspek social budaya inilah yang membentuk individu selain factor pembawaan, tepatlah jika landasan ini menjadi bahan pertimbangan dalam memberikan pelayanan bimbingan konseling.
1.2 Rumusan Masalah.
· Apa saja landasan yang digunakan dalam bimbingan dan konseling?
· Bagaimanakah implikasi landasan-landasan tersebut dalam bimbingan dan konseling?
1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah :
1. Bagi penulis untuk memenuhi tugas mata kuliah umum Bimbingan Konseling
2. Memberikan pemahaman/ pengetahuan tentang landasan-landasan apa saja yang digunakan dalam bimbingan dan konseling dan implikasinya terhadap penerapan BK itu sendiri.
1.4 Batasan Masalah
Sesuai dengan tugas yang di berikan oleh dosen pengampu mata kuliah umum bimbingan konseling, maka landasan – landasan bimbingan konseling yang dibahas pada makalah ini adalah :
1. Landasan Historis
2. Landasan Filsafat
3. Landasan Sosial Budaya
1.5 Sistematika Penulisan
Agar makalah ini dapat dipahami pembaca, maka penulis membuat sistematika penulisanmakalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan berisikan latar belakang mengenai pengertian demokrasi, identifikasi masalah yang ditimbulkan pada masa demokrasi pasca reformasi tujuan dibuatnya makalah, pembatasan masalah, dan sistematika penulisan.
BAB II ISI
ISI membahas tentang pengertian demokrasi dan reformasi, landasan-landasan demokrasi, perkembangan demokrasi pasca reformasi dan hal – hal yang menghambat demokrasi
BAB III KESIMPULAN dan SARAN
Kesimpulan dan saran merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan serta saran-saran
BAB II
ISI
LANDASAN DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING
A. Landasan Historis
- Sekilas tentang sejarah bimbingan dan konseling
Secara umum, konsep bimbingan dan konseling telah lama dikenal manusia melalui sejarah. Sejarah tentang pengembangan potensi individu dapat ditelusuri dari masyarakat yunani kono. Mereka menekankan upaya-upaya untuk mengembangkan dan menguatkan individu melalui pendidikan. Plato dipandang sebagan koselor Yunani Kuno karena dia telah menaruh perhatian besar terhadap masalah-masalah pemahaman psikologis individu seperti menyangkut aspek isu-isu moral, pendidikan, hubungan dalam masyarakat dan teologis.
- Perkembangan Layanan Bimbingan di Amerika
Sampai awal abad ke-20 belum ada konselor disekolah. Pada saat itu pekerjaan-pekerjaan konselor masih ditangani oleh para guru.
Gerakan bimbingan disekolah mulai berkembang sebagai dampak dari revolusi industri dan keragaman latar belakang para siswa yang masuk kesekolah-sekolah negeri. Tahun 1898 Jesse B. Davis, seorang konselor di Detroit mulai memberikan layanan konseling pendidikan dan pekerjaan di SMA. Pada tahun 1907 dia memasukkan program bimbingan di sekolah tersebut.
Pada waktu yang sama para ahli yang juga mengembangkan program bimbingan ini diantaranya; Eli Weaper, Frank Parson, E.G Will Amson, Carlr. Rogers.
- Eli Weaper pada tahun 1906 menerbitkan buku tentang “memilih suatu karir” dan membentuk komite guru pembimbing disetiap sekolah menengah di New York. Kamite tersebut bergerak untuk membantu para pemuda dalam menemukan kemampuan-kemampuan dan belajar tentang bimbingan menggunakan kemampuan-kemampuan tersebut dalam rangka menjadi seorang pekerja yang produktif.
- Frank Parson dikenal sebagai “Father of The Guedance Movement in American Education”. Mendirikan biro pekerjaan tahun 1908 di Boston Massachussets, yang bertujuan membantu pemuda dalam memilih karir uang didasarkan atas proses seleksi secara ilmiyah dan melatih guru untuk memberikan pelayanan sebagai koselor.
Bradley (John J.Pie Trafesa et. al., 1980) menambah satu tahapan dari tiga tahapan tentang sejarah bimbingan menurut Stiller, yaitu sebagai berikut:
1) Vocational exploration : Tahapan yang menekankan tentang analisis individual dan pasaran kerja
2) Metting Individual Needs : Tahapan yang menekankan membantu individu agar meeting memperoleh kepuasan kebutuhan hidupnya. Perkembangan BK pada tahapan ini dipengaruhi oleh diri dan memecahkan masalahnya sendiri.
3) Transisional Professionalism : Tahapan yang memfokuskan perhatian kepada upaya profesionalisasi konselor
4) Situasional Diagnosis : Tahapan sebagai periode perubahan dan inovasi pada tahapan ini memfokuskan pada analisis lingkungan dalam proses bimbingan dan gerakan cara-cara yang hanya terpusat pada individu.
- Perkembangan Layanan Bimbingan Di Indonesia
Layanan BK di industri Indonesia telah mulai dibicarakan sejak tahun 1962. ditandai dengan adanya perubahan sistem pendidikan di SMA yakni dengan adanya program penjurusan, program penjurusan merupakan respon akan kebutuhan untuk menyalurkan siswa kejurusan yang tepat bagi dirinya secara perorangan. Puncak dari usaha ini didirikan jurusan Bimbingan dan penyuluhan di Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Negeri, salah satu yang membuka jurusan tersebut adalah IKIP Bandung (sekrang berganti nama Universitas Pendidikan Indonesia).
Dengan adanya gagasan sekolah pembangunan pada tahun 1970/1971, peranan bimbingan kembali mendapat perhatian. Gagasan sekolah pembangunan ini dituangkan dalam program sekolah menengah pembangunan persiapan, yang berupa proyek percobaan dan peralihan dari sistem persekolahan Cuma menjadi sekolah pembangunan.
Sistem sekolah pembangunan tersebut dilaksanakan melalui proyek pembaharuan pendidikan yang dinamai PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan) yang diujicobakan di 8 IKIP. Badan pengembangan pendidikan berhasil menyusun 2 naskah penting yakni dengan pola dasar rencana-rencana pembangunan program Bimbingan dan penyuluhan melalui proyek-proyek perintis sekolah pembangunan dan pedoman operasional pelayanan bimbingan pada PPSP.
Secara resmi BK di programkan disekolah sejak diberlakukan kurikulum 1975, tahun 1975 berdiri ikatan petugas bimbingan Indonesia (IPBI) di Malang.
Penyempurnaan kurikulum 1975 ke kurikulum 1984 dengan memasukkan bimbingan karir di dalamnya. Selanjutnya UU No. 0/1989 tentang Sisdiknas membuat mantap posisi bimbingan dan konseling yang kian diperkuat dengan PP No. 20 Bab X Pasal 25/1990 dan PP No. 29 Bab X Pal 27/1990 yang menyatakan bahwa “Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa depan.
Perkembangan BK di Indonesia semakin mantap dengan berubahnya 1 PBI menjadi ABKIN (Asuransi Bimbingan dan Konseling Indonesia) tapa tahun 2001.
B. Landasan Filsafat
Kata filsafat atau filosofi berasal dari bahasa Yunani : philos berarti cinta dan shopos berarti bijaksana. Filsafat merupakan ilmu yang memepelajari kekuatan yang didasari proses berfikir dan bertingkah laku, teori tentang prinsip-prinsip – prinsip atau hukum – hukum dasar yang mengatur alam semesta serta mendasari semua pengetahuan dan kenyataan, termasuk ke dalamnya studi tentang estetika, etika, logika, metafisika, dan lain sebagainya.
1.1 Makna dan Fungsi Prinsip-prinsip Filosofis Bimbingan Konseling
Kata filosofis atau filsafat berasal dari bahasa Yunani: Philos berarti cinta dan sophos berarti bijaksana, jadi filosofis berarti kecintaan terhadap kebijaksanaan. Sikun pribadi mengartikan filsafat sebagai suatu “usaha manusia untuk memperoleh pandangan atau konsepsi tentang segala yang ada, dan apa makna hidup manusia dialam semesta ini.
Filsafat mempunyai fungsi dalam kehidupan manusia, yaitu bahwa :
1) Setiap manusia harus mengambil keputusan atau tindakan,
2) Keputusan yang diambil adalah keputusan diri sendiri
3) Dengan berfilsafat dapat mengurangi salah paham dan konflik, dan
4) Untuk menghadapi banyak kesimpangsiuran dan dunia yang selalu berubah.
Dengan berfilsafat seseorang akan memperoleh wawasan atau cakrawala pemikiran yang luas sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat John J. Pietrofesa et. al. (1980) mengemukakan pendapat James Cribin tentang prinsip-prinsip filosofis dalam bimbingan sebagai berikut:
a. Bimbingan hendaknya didasarkan kepada pengakuan akan kemuliaan dan harga diri individu dan hak-haknya untuk mendapat bantuannya.
b. Bimbingan merupakan proses yang berkeseimbangan
c. Bimbingan harus Respek terhadap hak-hak klien
d. Bimbingan bukan prerogatif kelompok khusus profesi kesehatan mental
e. Fokus bimbingan adalah membantu individu dalam merealisasikan potensi dirinya
f. Bimbingan merupakan bagian dari pendidikan yang bersifat individualisasi dan sosialisasi
1.2 Hakikat Manusia
a. B.F Skinner dan Watsan (Gerold Corey, Terjemahan E. Koeswara, 1988). Mengemukakan tentang hakekat manusia:
- Manusia dipandang memiliki kecenderungan-kecenderungan positif dan negatif yang sama
- Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budaya
- Segenap tingkah laku manusia itu dipelajari
- Manusia tidak memiliki kemampuan untuk membentuk nasibnya sendiri
b.Virginia Satir (Dalam Thompson dan Rodolph, 1983). Memandang bahwa manusia pada hakekatnya positif, Satir berkesimpulan bahwa pada setiap saat, dalam suasana apapun juga, manusia dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.
Upaya-upaya bimbingan dan konseling perlu didasarkan pada pemahaman tentang hakekat manusia agar upaya-upaya tersebut dapat lebih efektif.
1.3 Tugas dan Tujuan Kehidupan
Witner dan Sweeney (dalam Prayitno dan Erman Anti, 2002) mengemukakan bahwa ciri-ciri hidup sehat ditandai dengan 5 kategori, yaitu:
- Spiritualitas ~ agama sebagai sumber inti dari hidup sehat.
- Pengaturan diri ~ seseorang yang mengamalkan hidup sehat pada dirinya terdapat ciri-ciri 1. rasa diri berguna, 2. pengendalian diri, 3.pandangan realistik, 4. spontanitas dan kepekaan emosional, 5. kemampuan rekayasa intelektual, 6. pemecahan masalah, 7. kreatif, 8. kemampuan berhumor dan, 9. kebugaran jasmani dan kebiasaan hidup sehat.
- Bekerja ~ untuk memperoleh keuntungan ekonomis, psikologis dan sosial
- Persahabatan ~ persahabatan memberikan 3 keutamaan dalam hidup yaitu 1. dukungan emosional 2. dukungan material 3. dukungan informasi .
- Cinta ~ penelitian flanagan 1978 (dalam Prayitno dan Erman Anti, 2006) menemukan bahwa pasangan hidup suami istri, anak dan teman merupakan tiga pilar utama bagi keseluruhan pencipta kebahagiaan manusia.
Paparan tentang hakikat, tujuan dan tugas kehidupan manusia diatas mempunyai implikasi kepada layanan bimbingan dan konseling.
C. Landasan Sosial Budaya
Demensi – dimensi kemanuasiaan, salah satunya dari dimensi kemanusiaaan itu adalah “dimensi kesosialan”. Sebagai makhluk social, manusia tidak pernah dapat hidup seorang diri. Dimana pun dan bilamana pun manusia hidup senantiasa membentuki kelompok hidup yerdiri dari sejumlah anggota guna menjamin baik keselamatan, prrkrmbangan, maupun keturunan. Dalam kehidupan berkelompok itu, manusia harus mengembangkan ketentuanyang mengatur hak dan kewajiban masing-masing individu sebagai anggota demi ketertiban pergaulan social mereka.
Individu sebagai Produk Lingkuan Sosial Budaya
Setiap anak, sejak lahirnya harus memenuhi tidak hanya tuntutan biologisnya, tetapi juga tuntutan budaya di tempat ia hidup, tuntutan budaya itu menghendaki agar ia mengembangkan tingkah lakunya sehingga sesuai dengan pola-pola yang dapat diterima dalam budaya tersebut (Mc Daniel, 1956). Lebih jauh individu mencapai kemanuasiaaannya yang unik itu berkat pengaruh nilai-niloai, aspirasi, ide-ide, harapan dan keinginan yang ditunjukan kepadanya melalui lembaga-lembaga yang sengaja dikembangkan, yang semuanya itu berada dalam khasanah kebudayaan manusia(Fullmer, 1969).
Kepulauan Nusantara didiami oleh sekitar 185 juta manusia yang tersebar pada hampir 14.000 pulau , yang terdiri atas ratusan suku bangsa dengan budaya , tradisi , dan adat-istiadatnya berbedau yang ada, mulai ada di antara social budaya yang paling “primitif” sampai ke yang sangat tinggi. Kebinekaan yang ada diantara suku-suku bangsa Indonesia itu memperhatikan perbedaan unsur-unsur social budaya dlam tingkatan yang tidak sama, ada yang cukup besar , tidak begitu besar , atau kecil saja. Di dalam satu suku bangsa yang halus saja.
Ditilik dari adanya puak-puak,suku-suku dan bangsa-bangsa itu,secara garis besar dapat dilihat dari adanya tiga tingkat perbedaan budaya,yaitu tingkat internasional,tingkat kelompok etnik,dan tingkat yang lebih halus yang didalam etnik itu sendiri (Pedersen, dkk., 1976).
Seluruh pengaruh unsur-unsur sosial-budaya dalam segenap tingkatnya tersebut membentuk unsur-unsur subyektif pada diri individu.Unsur-unsur subyektif itu meliputi berbagai konsep dan asosiasi,sikap,kepercayan,penilaian,harapan dan keinginan,ingatan,pendapat,persepsi tentang peranan,stereotip,dan nilai (Pedersen,dkk ., 1976).
2.Bimbingan dan Konseling Antarbudaya
Komunikasi dan penyesuaian diri antar individu yang berasal dari latar belakang budaya yang sama cenderung lebih mudah daripada antar mereka yang berasal dari latar belakang yang berbeda.Ada lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi dan penyesuaian diri antarbudaya,yaitu sumber-sumber berkenaan dengan perbedaan bahasa,komunikasi non-verbal,stereotip,kecenderungan menilai,dan kecemasan (Pedersen,dkk., 1976).
Kecemasan ini muncul ketika seorang individu harus memasuki atau bertugas dengan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing.Kecemasan yang berlebihan dalam kaitanya dengan suasana antarbudaya itu dapat menuju ke suasana culture shock yang menyebabkan orang yang bersangkutan menjadi tidak tahu sama sekali apa,dimana,dan kapan berbuat sesuatu (Oberg, dalam Pedersen, 1976).
Seluruh pengaruh unsur-unsur sosial-budaya dalam segenap tingkatnya tersebut membentuk unsur-unsur subyektif pada diri individu.Unsur-unsur subyektif itu meliputi berbagai konsep dan asosiasi,sikap,kepercayan,penilaian,harapan dan keinginan,ingatan,pendapat,persepsi tentang peranan,stereotip,dan nilai (Pedersen,dkk ., 1976).
2.Bimbingan dan Konseling Antarbudaya
Komunikasi dan penyesuaian diri antar individu yang berasal dari latar belakang budaya yang sama cenderung lebih mudah daripada antar mereka yang berasal dari latar belakang yang berbeda.Ada lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi dan penyesuaian diri antarbudaya,yaitu sumber-sumber berkenaan dengan perbedaan bahasa,komunikasi non-verbal,stereotip,kecenderungan menilai,dan kecemasan (Pedersen,dkk., 1976).
Kecemasan ini muncul ketika seorang individu harus memasuki atau bertugas dengan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing.Kecemasan yang berlebihan dalam kaitanya dengan suasana antarbudaya itu dapat menuju ke suasana culture shock yang menyebabkan orang yang bersangkutan menjadi tidak tahu sama sekali apa,dimana,dan kapan berbuat sesuatu (Oberg, dalam Pedersen, 1976).
Perbedaan dalam latar belakang rasa tau etnik,kelas social ekonomi dan pola bahasa menimbulkan masalah dalam hubungan konseling,dari awal pengembangan hubungan yang akrab dan saling mempercayai (rapport ) antara klien dan konselor,penstrukturan suasana konseling,sampai peniadaan sikap menolak dari klien (Pedersen, dkk., 1976).
Menilik kemampuan dan kecenderungan (calon) konselor dewasa ini,pada umumnya mereka menyenangi klien-klien yang berasal dari latar belakng budaya,suku atau ras yang sama.Dalam kenyataanya memang para calon konselor itu tidak dipersiapkan secara khusus untuk menangani klien-klien dan latar budaya,suku atau ras,dan kelompok-kelompok sisial ekonomi yang semuanya itu membawa nilai-nilai,sikap dan gaya hidup yang berbeda-beda (Strange & Riccio;Padilla, dkk., dalam Pedersen, 1976).
Tuntutan tentang kompetensi konselor diatas membawa impiklasi terhadap pribadi-pribadi konselor serta sekaligus lembaga pendidikan dan latihan bagi konselor.Kurikulum dan program pendidikan serta latihan (teori dan praktek) perlu mencakup pengkajian dan kegiatan praktek lapangan berkenaan dengan aspek-aspek sosial budaya klien yang berbeda-beda.Untuk itu hasil-hasil penelitian sangat diperlukan agar para (calon) konselor dan pendidik kondelor yakin tentang berbagai unsur konseling antarbudaya.
Untuk membimbing penelitian dan perhatian mereka keapada berbagai aspek dan seluk-beluk konseling konseling budaya itu, Pederesen dkk.(1976) menemukakan sejumlah hipotesis, yaitu;
Menilik kemampuan dan kecenderungan (calon) konselor dewasa ini,pada umumnya mereka menyenangi klien-klien yang berasal dari latar belakng budaya,suku atau ras yang sama.Dalam kenyataanya memang para calon konselor itu tidak dipersiapkan secara khusus untuk menangani klien-klien dan latar budaya,suku atau ras,dan kelompok-kelompok sisial ekonomi yang semuanya itu membawa nilai-nilai,sikap dan gaya hidup yang berbeda-beda (Strange & Riccio;Padilla, dkk., dalam Pedersen, 1976).
Tuntutan tentang kompetensi konselor diatas membawa impiklasi terhadap pribadi-pribadi konselor serta sekaligus lembaga pendidikan dan latihan bagi konselor.Kurikulum dan program pendidikan serta latihan (teori dan praktek) perlu mencakup pengkajian dan kegiatan praktek lapangan berkenaan dengan aspek-aspek sosial budaya klien yang berbeda-beda.Untuk itu hasil-hasil penelitian sangat diperlukan agar para (calon) konselor dan pendidik kondelor yakin tentang berbagai unsur konseling antarbudaya.
Untuk membimbing penelitian dan perhatian mereka keapada berbagai aspek dan seluk-beluk konseling konseling budaya itu, Pederesen dkk.(1976) menemukakan sejumlah hipotesis, yaitu;
a) Makin besar kesamaan harapan tentang tujuan konseling antarabudaya yang pada diri klien dan konselornya, maka dimungkinkan konseling itu akan berhasil.
b) Makin besar kesmaan pemahaman tentang ketergantungan, komunikasi terbuka , dan berbagai aspek hubungan konseling lainnya pada diri klien dan konselornya (dalam konseling antarbudaya), makinbesar kemiungkinan konseling itu akan berasil.
c) Makin besar kemungkinan penyederhanaan penyederhanaan harapan yang ingin dicapai oleh klien menjadi tujuan-tujuan operasional yang bersifat tingkah laku (dalam konseling antarbudaya), makin efektiflah konseling dengan klien tersebut.
d) Makin bersifat personal dan penuh dengan suasana emosional suasana konseling antarbudaya, makin mungkinlah klien mananggapi pembicaraan dalam konseling dengan bahasa ibunya, dan makin mungkinlah konselor memahami sosialisasi klien budayanya.
e) Keefektifan konseling antarbudaya tergantung pada kesensitifan konselor terhadap proses komunikasi pada umumnya (baik verbal maupun non-verbal), dan terhadap gaya komunikasi dalam budaya klien.
f) Latar belakang dan latihan khusus, serta pemahaman terhadap permasalaahan hidup sehari-hari yang relevan dengan budaya tertentu, akan meningkatkan keefektifan konseling dengan klien yang berasal dari latar belakang budaya tersebut.
Kateristik social budaya masyarakat yang majemuk yang bineka itu tidak dapat diabaikan dalam perencanaan dan penyelengggaraan bimbingan dan konseling . Pelayanan bimbingan dan konseling yang bertujuan mengembangkan kemampuan dan meningkatkan mutu kehidupan serta martabat manusia Indonesia harus berakar pada budaya bangsa Indonesia sendiri. Hal ini berarti bahwa penyelenggaraan bimbingan konseling harus dilandasi oleh dan mempertimbangkan keanekaragaman social budaya yang hidup dalam masyarakat , di samping kesadaran akan diamika social budaya itu menuju masyarakat yang lebih maju.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang diuraikan didepan dapat ditarik kesimpulan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling memerlukan berbagai landasan, diantaranya:
1. Landasan Historis: Landasan histories menjelaskan alur/ sejarah kemunculan bimbingan konseling pertama kali, yang menjadi titik awal lahirnya Bimbingan konseling untuk dijadikan refleksi bagi bimbingan dan konseling kedepan dalam rangka menghasilkan pelayanan yang lebih baik lagi.
2. Landasan Filosofis: Landasan filosofis memberikan pemikiran-pemikiran tentang hakikat dan tujuan hidup manusia dipandang dari perspektif filsafat untuk menemukan hakikat manusia secara utuh mengingat bimbingan konseling akan selalu berkaitan dengan manusia sebagai objeknya.
3. Landasan Sosial Budaya: Landasan social budaya menunjukkan pentingnya gambaran aspek-aspek social budaya yang mewarnai kehidupan seseorang. Aspek social budaya inilah yang membentuk individu selain factor pembawaan, tepatlah jika landasan ini menjadi bahan pertimbangan dalam memberikan pelayanan bimbingan konseling.
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf, Syamsu dan Nurishan, A. Juntika, 2006, Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung : Remaja Rosdakarya
Prayitno dan Amti, Erman, 2004, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar